Monday, September 2, 2013

Cerita Sex
Permainan Kamar Sebelah
Mendung masih menggayut di luar sana,
saat kualihkan pandangan dari
mikroskop keluar menembus jendela
kaca besar yang tertutup dengan rapat
dan gedung-gedung tinggi di kejauhan
tampak samar-samar. Mungkin sudah
turun hujan di daerah sana. Masih terasa
dingin juga, walaupun di luar belum
turun hujan. Jam dinding di depan sana
baru menunjukkan pukul 13:45, berarti
masih ada sekitar 15 menit lagi sebelum
jam praktikum ini selesai. Seluruh slide
preparat sudah kupelajari dan rasanya
tidak ada masalah. Seluruh jenis kuman
yang ada sudah kukenal. Hanya memang
ada 1 preparat yang mungkin sudah tua
sehingga agak sulit untuk dilihat, namun
akhirnya dapat juga, walaupun
membutuhkan waktu yang lebih banyak
untuk mencarinya.
Tiba-tiba timbul rasa isengku untuk
minta bantuan Caroline melihat preparat
itu, soalnya pikiranku juga lagi suntuk,
sekalian ingin memantapkan
keyakinanku.
"Carol, bantu gue dong. Ini preparat
apaan sih? Gue susah nih ngeliatnya,"
begitu pintaku pada doi.
Caroline nama lengkapnya. Biasanya
kupanggil Carol saja. Doi ini anak
Surabaya asli. Tubuhnya lumayan besar
tetapi cukup proporsional menurutku.
Tinggi badannya sekitar 170 cm. Sangat
tinggi untuk cewek Indonesia dan yang
pasti doi ini punya buah dada yang
sangat besar menurutku, seperti buah
kelapa mendekati pepaya. Nah, bingung
kan anda membayangkannya? Otak doi
cukup lumayan berdasarkan
pengamatan 2 tahun ini terhadapnya,
soalnya dari angka-angka yang
diumumkan pada tiap kali kami ujian, doi
berada di ranking atas kalau tidak A, ya
B.
Oh ya, sistem ujian kami adalah
kenaikan tingkat, jadi tidak ada yang
namanya SKS. Pokoknya pegang saja
mata kuliah pokok dan lulus, maka kami
dapat naik tingkat. Asal yang minornya
tidak jeblok banget. Terus ada enaknya
lagi kalau sudah lulus tingkat 2 pasti
jadi, maksudnya jadi dokter. Tidak ada
lagi DO (drop out). Mau kuliah 10 tahun,
lima belas tahun atau sampai bosan.
Tetapi sekarang sudah diganti
kurikulumnya menjadi sistem SKS yang
membuat semakin susah kali ya?
"Apaan sich... sini!" pinta doi menanggapi
permintaanku.
Terus doi putar mikroskopku ke arahnya,
soalnya doi duduknya di depanku, jadi
kalau doi mau membantuku tinggal
putar badan terus berhadapan. Hanya
terhalang oleh ujung meja yang sedikit
dibuat tinggi untuk meletakkan stop
kontak dan reagen pewarnaan saja. Jadi
doi membantuku memperlihatkan
mikroskop itu sambil nungging.
"Busyet...," tuch toket sekarang pas
sekali bisa kulihat dari atas bajunya,
soalnya doi memakai baju yang agak
longgar terus nungging, jadi bisa terlihat
dari ketinggian dengan leluasa. Tetapi
kuperhatikan tidak ada bra-nya, terus
turun ke bawah tetap tidak kelihatan
ada bra-nya. Tetapi pentil susunya juga
tidak keliatan. Membuat penasaran saja.
Kalau bisa kuremas mau aku
melakukannya, apalagi kalau diberikan
gratis, betul tidak? Jadi semakin
penasaran. Doi ini memakai bra, apa
tidak ya? Tetapi kulihat samping kanan
dan kirinya juga tidak terlihat ada tali
bra-nya. Anehnya, kalau doi tidak pakai,
masa doi berani? pikirku. Otak memang
mikir tetapi adikku yang di bawah tidak
mikir lagi kali ya? Soalnya langsung
kencang saja minta perhatian yang lebih.
Eh, lama-lama sakit juga. Salah setel
kali ya? Jadi ya gitu, dengan gaya
seadanya tetapi tanpa menarik
perhatian publik tentunya, kukemudikan
dulu ke jalur yang benar sehingga tidak
mengganggu konsentrasi.
Kira-kira 7-8 menit, akhirnya, "Fran, ini
kayanya BTA? Tapi gue ngga yakin
betul, eloe liat deh nih, gue udah passin,"
begitu lapor doi.
Dalam hati aku, "Memang betul BTA,"
jadi ternyata benar keyakinanku.
Apalagi dari 32 preparat yang ada
memang kuman itu yang tidak ada di
sediaan lainnya. Tetapi untuk
menghormati doi, sekaligus menutup
rasa dosaku, sudah melihat
pemandangan indah dengan gratis,
kemudian aku bangun dan memutari
meja untuk melihat hasil pemeriksaan
yang ditunjukkan oleh doi. Benar, seperti
dugaanku. Ya sudah. Tidak lama terus
bel bunyi. Kemudian, aku dan teman-
teman lainnya mulai membereskan
peralatannya dan memasukkannya ke
lemari masing-masing, sebab baru
dipertanggungjawabkan nanti di akhir
semester untuk serah terima ke dosen
pengajar labnya. Tidak lama kemudian
kami keluar ruangan lab praktikum.
Eh, ketika aku sudah di dalam lift untuk
turun ke bawah. Sandro, temanku
menegurku.
"Fran, jadi ngga?" tanya Sandro.
Bertanya apa memaksa, aku jadi
bingung.
"Jadi Dro," seruku setelah sempat
termenung sejenak.
"Tolong bilangin ke temen-temen,"
lanjutku kemudian sebelum pintu lift itu
tertutup dan masih sempat kulihat
Sandro mengacungkan ibu jarinya ke
atas yang berarti dia mengerti dan
menangkap pesanku.
Sampai di bawah, wuiiih ramai sekali.
Semua anak-anak berkumpul. Biasa,
jam-jam seperti ini anak FE, FIA dan FH
baru saja mau masuk kuliah. Biasanya
anak FKIP, khususnya yang Psikologi
lebih sore lagi. Gedung FK ini tepat di
tengah-tengah, jadi anak-anak dari
Fakultas lain suka berkumpul di bawah,
mereka sedang duduk-duduk. Setelah
memesan makanan kesukaanku, yaitu
satekambing untuk mengisi perut yang
hanya sempat diisi pagi tadi dengan
semangkok soto Madura, kucari tempat
duduk dan kulihat ada Sandra sedang
makan sendirian.
"San, kosong nich?" tanyaku padanya
seraya duduk persis di depannya.
Sebenarnya meja ini cukup untuk
berempat, tetapi doi hanya sendirian.
"He eh," jawabnya singkat dan cukup
judes menurut ukuranku.
Anak itu boleh dibilang cantik. Tidak
terlalu tinggi, sekitar 165 cm dengan
tubuh sedang ideal. Kulitnya putih
dengan rambut yang selalu dipotong
sebahu. Sifatnya cukup pendiam, kalau
bicara tenang, seakan memberikan
kesan sabar, tetapi yang sering
dibicarakan teman-teman adalah
judesnya itu yang membuatku juga
kadang-kadang tidak betah. Untungnya,
aku tipe orang yang easy going, jadi
jarang dimasukkan ke hati. Percuma
buat kepala pusing. Tetapi yang aku
harus angkat topi sama doi, otaknya,
sangat encer. Sebetulnya doi masih
muda, tetapi katanya waktu SD sempat
loncat kelas, jadi saat ini doi masih
berusia 17 tahun. Bayangkan, umur 17
tahun sudah tingkat II FK. Aje gileee!
"Kok manyun San?" tanyaku basa-basi
sedikit sebelum mulai makan, sebab
kulihat juga raut wajah doi agak sepet.
"Ngapain tadi eloe tanya-tanya ke Carol,
apa eloe sendiri ngga bisa liat?"
tanyanya ketus sekali.
Kaget juga aku, aku di ketusin seperti ini.
Tetapi memang benar feelingku, anak ini
rasanya agak menaruh hati padaku.
Tetapi bagaimana ya? Masalahnya aku
belum ingin, paling tidak untuk saat ini.
Masalahnya konsentrasiku saat ini
adalah ingin jadi dokter dulu. Apalagi
aku masih ingin happy-happy saja dulu.
Jadi aku tidak tanggapin serius
pertanyaan doi.
Tetapi kujawab, "Oh.... bener San,
soalnya tuh preparat udah lama kali yah,
jadi kaga bagus lagi dan susah bener
ngeliatnya. Tapi udah gue tandain kok.
Pokoknya ada bunderan kecil di kanan
bawah pake tinta hitam, itu adalah BTA
(Basil Tahan Asam, biangnya penyakit
TBC). Ingat lho di kanan bawah ada
bunderan kecilnya. Terus..." Belum
sempat kujelaskan semua, tiba-tiba ada
yang menepuk pundakku dan bilang,
"Jam berapa?"
"Eh... eloe Ky, bentar yah, abis gue
makan nih," jawabku dengan penuh rasa
syukur karena jadi sekarang kami tidak
berdua saja dengan Sandra. Minimal ada
pihak ketiga.
"Ngga... ngga... ngga..," tiba-tiba Sandra
nyeletuk dengan nada tinggi dan cukup
keras mengatasi kebisingan yang ada di
kantin ini, saat Ricky hendak duduk di
sampingku.
"San, sebentar...," pinta Ricky sejurus
kemudian, karena doi juga terkejut
dengan ucapan Sandra yang demikian
tajam dengan nada tinggi.
"Ngga... ngga... eloe ngerokok," sahutnya
ketus.
Ricky memandangku meminta
persetujuan, tetapi aku sedang malas
berdebat, jadi aku hanya angkat bahu
dan melanjutkan makan siangku
secepatnya, biar tidak terlalu lama.
Selesai makan, aku cepat-cepat pergi.
Peduli amat, walaupun Sandra
sepertinya masih sangat kesal, doi pikir
aku tolol sekali ya. Tetapi tidak peduli,
yang penting aku selamat. Betul, tidak?
Di lapangan basket tempat biasa geng
aku berkumpul, sudah kulihat cukup
lengkap juga anggotanya. Siang hari
yang mendung ini masih sempat kulihat
si Paul melakukan lay-up terakhirnya
sebelum kuberteriak untuk berangkat.
Kami berenam, Sandro, Ricky, Paul,
Hengky, Mardi yang sudah punya kerja
sambilan. Saat ini kami menuju tempat
kostnya Mardi dan terus ke kostku
sendiri. Kami berjalan menyusuri gang-
gang sempit di sekitar kampus ini.
Kemudian, tidak lama kami sampai dan
langsung naik ke atas, kamarnya Mardi
ada di lantai dua. Di atas sini, seluruhnya
ada 12 kamar. Maksudnya, 6-6 saling
berhadapan. Umumnya satu kamar
untuk berdua, tetapi Mardi mengambil 1
kamar untuk dia sendiri. Katanya dia
tidak bisa belajar serius kalau ada
teman sekamar, apalagi kalau dari lain
jurusan, begitu alasannya. Bener apa
tidak, silakan perkirakan sendiri.
Sebelum masuk ke kamar Mardi, aku
masih sempat memperhatikan kamar di
sebelah Mardi. Masih gelap dan sepi,
barangkali mereka belum pada pulang.
Di kamar Mardi, wuuuiiiih... hampir
seluruh dinding kamarnya penuh dengan
poster dari ukuran yang kecil sampai
sebesar meja belajar. Gambarnya
memang tidak terlalu seru, seadanya.
Kesanku sih begitu, berantakan tidak
karuan. Yang penting menempel. Di situ
ada gambar Madonna, Prince, Michael
Jackson, terus artis-artis dari yang tidak
terkenal dari Hong Kong dan juga
Indonesia seperti: Yatti Octavia dan
beberapa gambar pemain sepakbola
yang aku tidak ketahui namanya.
Maklum, aku bukan penggemar bola.
Setelah kamar dikunci, Mardi
memberikan contoh dengan mengupas
perlahan gambar poster tadi di dinding
yang terbuat dari kayu itu, dan segera
menempelkan matanya pada lubang
yang ada di balik poster itu. Ya sudah,
kami berebutan mencari poster yang
tentunya sesuai dengan ukuran tinggi
tubuh kami. Dan, Ya ampun. Hampir di
balik seluruh poster yang tertempel di
dinding itu kebanyakan ada lubang untuk
mengintip ke kamar sebelah. Aku sendiri
memilih-milih lubang, satu cukup tinggi
dan satunya lagi di bawah, yang kalau
kami lihat harus berjongkok atau
setengah tiduran.
Yang lain juga sudah mendapatkan
posisinya masing-masing. Dari balik
lubang tempatku melihat tampak kamar
di sebelah tertata dengan apik. Di
seberang sana menempel ke dinding
kanan ada ranjang, kemudian di
sampingnya ada meja komputer,
sedangkan yang di sebelah kiri ada pintu
lagi, kamar mandi. Dari lubang di bawah,
aku tidak dapat melihat banyak.
Mungkin tepat di kolong meja. Meja
belajar maksudnya.
"Mar, jam berapa?" tanyaku, "ngga
sabar nich." sambil tiduran di lantai,
sementara lampu di kamar tetap padam
dan suasananya hening sekali.
"Sebentar lagi, biasanya sich jam-jam
segini," sahutnya bingung.
Eh, benar. Tidak lama terdengar pintu
kamar ruang sebelah di buka dan
setelah kami menunggu agak lama
sedikit, perlahan-lahan kami mulai
beraksi dengan membuka poster-poster
sesuai pilihan kami masing-masing. Di
kamar sebelah, kulihat ada cewek yang
lagi minum langsung dari botolnya, dan
tampak lehernya yang putih mulus
dengan gerakan halus dari jakun yang
sedang bekerja melancarkan air
tersebut masuk ke tenggorokannya.
Pemandangan ini membuat penisku
mulai sedikit memberikan reaksi. Gila,
pemandangan yang indah sekali. Cewek
itu belum dapat kulihat dengan jelas.
Yang pasti, rambutnya hitam, panjang
sedikit melewati punggungnya dengan
perawakan langsing dan tinggi sekitar
160 cm. Mengenakan kaos berwarna
pink, tidak terlalu ketat dan rok mini
yang juga berwarna pink. Pintu kamar
mandi masih terbuka dan terdengar
seseorang sedang menumpahkan air di
sana dan ketika dia keluar. Ya ampun,
aku kenal dengan anak ini. Si Andre,
anak tehnik seangkatan dengan aku, dan
kukenal doi karena sama-sama satu
grup saat P4 dulu. Anaknya cukup supel
dan aktif. Ketika kulihat lagi yang cewek,
ternyata aku juga mengenalnya. Dia
Irene, anak FE juga seangkatan
denganku dan kami semua satu grup,
Andre, Irene dan aku. Irene sendiri
sempat dekat benar dengan aku,
soalnya doi juga aktif dan sering
berdiskusi dengan aku. Lebih tepatnya
berdebat dalam session di P4 itu.
Pokoknya seru kalau sudah berdebat
dengan dia. Tetapi orangnya juga sportif.
kalau aku benar dalam
mempertahankan pendapat tentunya
dengan jalan pikiran yang logis, pasti dia
mengakuinya.
Selama acara P4 yang 2 minggu lebih itu,
Irene nempel terus ke aku. Dari aku
sendiri suka-suka saja, soalnya aku juga
belum punya banyak teman saat itu,
demikian juga dia. Apalagi memang tidak
ada ruginya dekat-dekat dengan cewek
cantik. Dia dari Pontianak dan tidak
banyak anak Pontianak yang masuk
Jakarta untuk kuliah. Kalau si Andre
sudah dari dulu dia mendekati Irene, jadi
kami berdua sering jalan bersama. Andre
adalah anak Surabaya, sama dengan
Sandra, hanya saat itu aku lain group
dengan Sandra, sehingga waktu itu
belum dekat benar. Hanya sekedar tahu
saja. Memang sudah berulang kali aku
bertemu Iren sedang ngobrol bersama
Andre. Akhirnya dapat juga Andre
mendekati Irene dan geli juga aku
mengingatnya, sebab dari dulu Andre
juga pernah bertanya kepadaku, lebih
tepat mancing-mancing perasaanku ke
Irene. Tetapi kubilang ambil saja kalau
dia mau. Bubar P4 masih seminggu lebih
lagi, aku dekat dengan Irene, sebab kami
sama-sama diminta menjadi anggota
tim perumus akhir P4. Sesudah itu kami
bubaran karena kuliahku teratur dari
pagi jam 7 sampai jam 2 siang,
sedangkan doi tidak tentu. Sesudih itu
aku juga tidak terlalu memperhatikanny
a. Jadi semakin lama semakin jarang
bertemu, sampai hari ini baru aku lihat
lagi.
Andre sempat mengecup pipi Irene
sebelum doi duduk dan sibuk di depan
komputer, sedangkan Irene kemudian
berjalan menuju ke arahku. Semakin
dekat... dekat... dekat... Wah gawat, aku
menjadi deg... deg... degkan tidak
menentu. Saat itu Irene begitu dekat
hingga bisa kulihat dengan hanya
dibatasi dinding kayu. Kalau ketahuan
aku sedang mengintip kan tengsin juga
aku. Walaupun hati ini kebat-kebit,
untung aku masih ingat benar ilmunya si
Mardi. Jangan sekali-kali bergerak kalau
posisinya begitu, apalagi sampai
mengangkat mata dari lubang, karena
akan ada sinar yang masuk melalui
celah dan itu bahaya besar, bisa
membangkitkan perhatian. Kalau
mungkin malah jangan berkedip. Jadi
kutahan mataku untuk menutup lubang
itu, sambil berdoa semoga tidak
ketahuan, he... he... he... Sudah salah
masih minta slamat, dasar manusia, jadi
manusiawi.
Setelah agak lama Irene tenggelam
dalam kesibukannya dan aku merasa
aman, perlahan kuangkat mata dari
lubang itu dan kututup kembali dengan
poster. Kemudian aku pindah ke lubang
yang ada di bawah meja. Sekarang yang
tampak adalah sepasang kaki yang
sangat indah hingga ke pangkal paha
putih mulus dengan posisi kaki
disilangkan, yang kanan menindih yang
kiri. Cukup lama aku mengagumi hal ini
dan kemudian tiba-tiba kaki tersebut
bergerak. Sekarang ganti kaki kiri yang
menumpang di kaki kanan. Saat
perpindahan itu sempat terlihat CD doi.
Kayanya warna pink juga tetapi
sayangnya singkat sekali sehingga tidak
sempat kunikmati. Dengan sabar aku
menanti kembali gerakan-gerakan yang
tentunya kuharapkan memberikan
pandangan hidup yang lebih baik lagi.
Tetapi kok tidak kunjung tiba, sampai
akhirnya penantianku membuahkan
hasil. Kakinya sedikit terbuka
mengangkang dengan tubuh yang
mungkin di condongkan ke meja.
Sekarang dapat ku lihat belahan paha
bagian dalam terus menyusur ke dalam
dengan cahaya seadanya (karena di
kolong meja), terus ke dalam
memberikan gairah tersendiri yang
tanpa sadar penisku juga sudah mulai
menegang. Rasanya ingin segera
mencari lubang itu dan menyelami
dasarnya. Doi memakai celana berwarna
pink dari bahan yang tidak terlalu tebal
sehingga masih berbayang rumput
hitamnya yang cukup tebal di tengah.
Uh, indah sekali. Lima belas menit sudah
berlalu rasanya dan belum ada aktifitas
lebih lanjut. Lama-lama pegel juga mata
dan bosan juga. Itu lagi itu lagi. Dan
penisku juga sudah mulai surut,
sementara yang diintip diam saja. Lama-
lama kakiku yang kesemutan sendiri.
Jadi kututup lagi lubang itu. Sekarang
aku tiduran di lantai disusul oleh yang
lain. Bosan juga rupanya mereka. Orang
tidak ngapa-ngapain kok diintip. Samar-
samar masih sempat kudengar hujan
mulai turun di luar dan rasanya belum
terlalu lama aku tidur ketika kakiku di
sepak-sepak Paul. Sialan. Dalam hati,
baru juga mau tidur sebentar saja ada
yang ganggu. Dan eh, langsung aku
segera bangun, karena teman-temanku
sudah sedang asyik di posisi masing-
masing. Hanya aku yang ketinggalan.
Rasanya aku tertidur tidak terlalu lama.
Apa aku pules benar ya?
Cepat-cepat saja kubuka lagi lubang
yang punyaku dan segera kuintip.
"Hhhggg... hggg..." desah Irene sambil
mengacak rambut Andre. Kulihat Irene
duduk di tepi ranjang, sedangkan Andre
berlutut di hadapannya sedang sibuk
menjilat belahan paha bagiandalam.
Tubuh mulus bagian atas Irene sendiri
sudah terbuka, demikian juga dengan
branya yang tidak terlihat lagi ada
dimana. Buah dadanya kencang sekali,
cukup besar dan menantang. Gila,
tubuhnya putih mulus benar. Nyesel
juga, kenapa dulu tidak kuhajar saja.
Saat itu penisku juga tidak tanggung-
tanggung langsung bangun, tegang
sekali. Sialan juga temen-temen yang
lain, terlambat membangunkanku.
Seperti apa permulaannya kan aku tidak
lihat.
"Aaaccchhh..." desah nikmat Irene
seraya mendongakkan kepalanya ke
belakang, dan leher jenjangnya benar-
benar mempesona.
Kemudian tangannya menyibakkan
rambutnya ke belakang. Sungguh suatu
paduan gerakan alami nan menawan.
Sejurus kemudian dia membungkuk dan
menarik kaos yang dikenakan Andre dan
meletakkannya di lantai. Andre sendiri
kemudian bangkit dan melepaskan
celana yang dikenakannya termasuk
celana dalamnya. Segera tampak
senjata ampuh miliknya yang tentunya
di sayang benar dan segera di lahap
ujungnya perlahan oleh Irene, dan
perlahan mulai mengocoknya berirama
hingga pada akhirnya seluruh batang
kemaluan itu tertelan oleh mulut Irene
yang dihiasi bibir mungilnya. Milik Andre
rasanya tidak sebesar punyaku, tapi
yang di sana rupanya lebih beruntung
dari yang punyaku, he he he.
"Ren... ach... ach..." rintih Andre yang
memuncak nafsunya.
Kemudian dikeluarkannya batang itu dan
segera Andre mengangkat kaki Irene dan
menarik celana dalam serta rok mininya
dan terlepas seluruhnya. Tetapi tidak
sempat kulihat dengan jelas, karena
Irene segera tertidur di ranjang dan
tertutup oleh bayangan pantat Andre
yang segera merebahkan tubuhnya di
atas tubuh Irene dan mereka mulai
bergelut. Sesaat kemudian, Andre turun
dari tubuh Irene dan perlahan membelai
tubuhnya mulai dari telinga kanan, leher,
menyusuri bahu berputar-putar di sana
sejenak dan terus turun mendekat bukit
nan menjulang sebelah kanan dan
mendaki namun tidak sampai
menyentuh putting. Justru puting itu
diam-bil dari puncaknya dengan lidah
Andre yang sekarang mulai aktif
memainkan peranannya.
"Ssshhh... achhh..." rintih Irene nikmat.
Sekarang tangan kanan Andre sudah
semakin menurun dan mencapai perut,
terus turun tepat di jalur tengah menuju
pusat, mulai menyibakkan rumput hitam
lebat.
"Dre... hhhggg.. hhhggg.."
Tangan kanan Andre sekarang sibuk
tepat di pusat itu dan nampak Irene
sangat menikmatinya. Perlahan kaki
Irene sudah semakin terbuka lebar dan
Andre pun sudah kembali mengambil
posisi siap di atas. Perlahan Andre mulai
menurunkan kaki ketiganya dan
menembus, membuka liang nikmat itu
perlahan tetapi pasti, seiring dengan
kaki Irene yang panjang menekuk
menyambut tamunya yang memberikan
kenikmatan duniawi. Memang di sana
adalah surga dunia. Andre bergerak
perlahan memompa, yang tidak lama
kemudian sudah seirama dengan
gerakan Irene yang diiringi nafas
memburu dari Andre dan desah lirih
tiada henti dari Irene. Gerakan
bergelombang itu membangkitkan minat
para pengintip termasuk aku. Dan
kuyakin di dalam sana burungku juga
pasti sudah mulai kebasahan.
Pada satu kesempatan, Andre
melepaskan penisnya dari genggaman
liang vagina Irene, dan berbaring di
samping tubuh Irene, yang disusul oleh
Irene menaiki tubuh Andre. Setelah Irene
menyibakkan rambutnya yang kusut ke
belakang dia pun mulai mencari dan
memberikan pengarahan kepada burung
Andre untuk mencapai sarangnya.
Sesaat kemudian gerakan mereka
kembali berirama dan kulihat rambut
Irene sekarang mulai menempel di
tubuhnya yang berkeringat. Hal itu
memberikan pemandangan indah
tersendiri, terlebih ketika Irene
mendongakkan kepalanya meresapi
kenikmatan yang datang. Sejurus
kemudian Irene membungkukkan
tubuhnya ke depan dan bertumpu pada
kedua lengannya sementara pinggulnya
terus memainkan gerakan indah
berirama turun-naik turun-naik
berulang-ulang. Irene menarik
rambutnya ke depan dan menutupi buah
dadanya yang sebelah kiri, tidak terurai
oleh karena sudah basah oleh keringat.
Diterangi cahaya lampu yang minim itu,
sekarang aku dapat melihat pundak dan
punggung Irene yang putih mulus itu
mulai berminyak dan timbul bintik-bintik
keringat licin yang semakin mengoyak
kesetiaan iman. Gerakan semakin binal
dan menuju puncak hingga pada suatu
titik.
"Ren, nyam... pe..." pekik Andre tertahan.
Saat itu pula segera Irene
melepaskannya dan menyambut
semburan kental dari pipa milik Andre ke
dalam mulutnya. Masih sempat terlihat
semburan yang pertama mengenai muka
dan sedikit rambut Irene sebelum
seluruhnya tenggelam dalam kegelapan
kerongkongan Irene. Setelah terdiam
beberapa saat, Andre bangkit dan
mengangkat kaki Irene ke atas dan
segera lidah Andre terjulur memainkan
klitoris milik Irene, mulai dari gerakan
perlahan namun segera menjadi cepat
seiring dengan bahasa tubuh Irene
menggeliat kian kemari hingga akhirnya.
"Ach... ccchhh," desis Irene yang disertai
dengan gerakan kakinya yang
mengejang keras lurus mirip kaki ayam
disembelih nikmat yang tiada tara.
Dan, "Brukkk..." derit ranjang itu
berbunyi pada saat Andre rubuh
menjatuhkan tubuhnya untuk saling
berimpit bersentuhan dan menikmati
sisa nikmat yang ada bersamanya. Kami
semua terdiam karena demikian
terpesona menikmati live show yang
baru saja diperagakan lebih nikmat
dibandingkan nonton BF yang seringkali
kami lihat bersama seusai kuliah ini.

No comments:

Post a Comment